Home » makalah »
pendidikan »
Sejarah Islam
» Pemikiran politik Sunni, Syi'ah, Khawarij, dan mu'tazilah
Pemikiran politik Sunni, Syi'ah, Khawarij, dan mu'tazilah
Pemikiran-pemikiran dari ahli-ahli politik sunni cenderung membelah dan mempertahankan kehidupan kekuasaan. Jarang pula pemikiran politik dan kewarganegaraan mereka menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang memerintah namun atas pendapat ini mujar ibnu syarif memberikan sebuah solusi ketika makalah ini dipersentasekan bahwasannya pendapat diatas merupakan suatu hal yang darurat.
Ibnu taimiyah telah merumuskan bahwa 60 tahun berada dibawah rezim penguasa zalim lebih baik dari pada sehari hidup tanpa pemimpin. Ibnu taimiya menyatakan bahwa keberadaan kepala negara dibutuhkan untuk umat islam tidak hanya sekedar menjamin jiwa dan harta masyarakatnya, tetapi juga untuk menjamin berjalannya hukum-hukum tuhan. Sebagai konsekuensi dari kekuasaan kepala negara yang saklar, ibnu tamiya berpendapat bahwa kepala negara tidak dapat diturunkan dari jabatannya. Karena kekuasaan bersifat mutlak, tidak dapat digangu gugat oleh siapa pun. Bahkan ibnu tamiyah mengharamkan umat islam untuk melakukan pemberontakan terhadap kepala negara meskipun kafir, selama ia masih menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat pada Allah SWT. Bahwasannya sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan perjanjian antara agama dan rakyatnya atau adanya kontrak sosial.
Ciri didalam pemikiran politik golongan sunni ini adalah penekanan mereka erhadap suku quraisy sebagai kepala negara walaupun ibnu abi rabi’ tidak menyingungnya secara tegas, dan muhammad iqbal memasukan pemikiran yang hidup dimasa modern yang masih menekankan suku quraisy di dalam pemikiran politiknya.
PEMIKIRAN POLITIK SYI’AH
Mengenai delahiran kelompok ini banyak sekali aneragamnya, sebagaiman dijelaskan oleh iqbal yang menyatakan bahwasannya syi’ah lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok sunni yang sejak wafatnya Nabi muhammad Swa telah mendominasikan dalam peraturan politik islam. Selanjutnya munawir sjadzali menyatakan titik awal dari lahirnya syi’ah karena berawal dari ketidak setujuan atas kekhalifahan abu bakar. Syi’ah lahir langsung setelah wafatnya Nabi muhammad Swa yaitu pada saat perbuatan ;kekuasaan antara golongan muhajirin dan anshor di balai pertemuan sqifah bani sa’idah. Abu zugroh memperkuat atas pendapat dengan menyatakan bahawasannya syi’ah adalah mashab politik yag pertama kali lahir dalam islam mazhab mereka tampil pada akhir masa pemerintahan utsman, kemudian tampil pada akhir masa ali.
Kaum syi’ah menetapkan bahwa seorang imam :
- harus ma’saum ( terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.
- seorang imam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubungan dengan syariat.
- seseorang imam boleh membuat hal yang luar biasa dari adat kebiasaan.
- imam adalah pembelah agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari penyelewengan.
Nabi hanya menetapkan siat-sifat yang mustinya dimiliki seseorang imam yang akan menggantikan beliau. Kaum syi’ah sebagaimana dijelaskan oleh suyuti merupakan tidak bisa lepas dari pendapat khawalij yang mengakukan, ali sejak peristiwa tahkim (arbitrase). Yaitu mengankat dan memutuskan pada tingkat ma’saum, dan mendoktrin bahwa ia telah ditetapkan melalui wasyiat nabi sebagai imam untuk pengganti nabi.
PEMIKIRAN POLITIK KHAWARIJ.
Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisakan diri dari barisan ali setelah arbitase atau tahkim untuk menerima yang mengakhiri perseruan dan kontak senjata antara ali dan mu’wiyah di siffin. Pengikut khawarij terdiri dari suku arab badu’I yang masih sederhana secara berpikirnya, sikap keagamaan mereka sangat ektrim dan sulit menrima perbeaan pendapat dan di teragkan oleh ABU Zahroh bahwasannya para pengikut kelompok khawrj pada umumnya terdiri atas orang arab pegunungan yang ceroboh dan berpikiran dangkal,sikap ekstrim ini pula yang membuat kelompok ini terpeah-pecah menjadi beberapa kelompok.
- penangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasaran pelimihan yang benar- benar bebas dan di lakukan oleh semua umat islam tanpa deskriminasi.
- Jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga arab tertentu, untuk memegang jabatan kkhalifah.
- pengangkatan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyampaikan masalah-masalah mereka. Jadi pengfangkatan seorang imam menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan sya’ra tetapi hanya bersifat kebolehan.
Pengikut khawarij berpandangan pengangkatan khalifah dan pembentukan negara adalah masalah kemasalahatan manusia saja mereka mengangap kepala negara sebagai seseorang yang sempurna iqbal menjelaskan bahwasannya khawarij mengunakan mekanisme untuk mengontrol pelaksanan tugas-tugas pemerintahan.
PEMIKIRAN POLITIK MU’TAZILAH
Penamaan kelompok mu’tazilah ini baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan-perbedaan antara washil ibnu atah dengan gurunya hasan al-basri. Tentang penilaian orang yang berbuat dosa. Kelaompok mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi nasional, akan tetapi sesuai dengan situasi dan perkembangan, pemikiran mu’tazilah berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajibaan berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membentuk negara, menambah dalam karangannya melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia. Karena kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat islam sendiri.