Pengertian, Dampak dan Jenis-jenis Riba
Menurut bahasa riba berarti tambahan (ziyadah-Arab, addition-Inggris), sedangkan menurut istilah, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok sebagai syarat terjadinya suatu transaksi. Sedangkan menurut Al Jurjani merumuskan riba sebagai kalebihan / tambahan pembayaran tanpa ada ganti / imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad (transaksi).
Riba yang pertama, al nasi’ah, merujuk pada selisih waktu; dan riba yang kedua, tafadul atau al-fadl , merujuk pada selisih nilai. Dengan dua jenis sumber riba ini, Ibn Rushd merumuskan adanya empat kemungkinan:
1. Hal-hal yang pada keduanya, baik penundaan maupun perbedaan, dilarang adanya.
2. Hal-hal yang padanya dibolehkan ada perbedaan tetapi dilarang ada penundaan.
3. Hal-hal yang pada keduanya, baik penundaan maupun perbedaan, diperbolehkan adanya.
4. Hal-hal (yang dipertukarkan) yang terdiri atas satu jenis (genus) yang sama (semisal pertukaran uang, sewa-menyewa, dan utang-piutang).
Rumusan di atas menunjukkan bahwa istilah penundaan maupun perbedaan nilai (penambahan) digunakan di dalam fikih untuk hal-hal baik yang bisa dibenarkan maupun tidak, tergantung kepada jenis transaksi dan barang yang ditransaksikan. Ini bermakna bahwa:
- Dalam suatu transaksi yang mengandung unsur penundaan yang dilarang timbul riba yang termasuk riba al nasi’ah.
- Dalam transaksi yang mengandung unsur penambahan yang dilarang timbul riba yang termasuk riba al-fadl.
- Dalam suatu transaksi yang mengandung keduanya berarti timbul riba yang merupakan riba al-nasi’ah dan riba al-fadl sekaligus.
Pengertian yang benar tentang jenis riba ini penting terutama dalam konteks transaksi yang melibatkan jenis (genus) yang sama di atas. Berikut kita aplikasikan pengertian ini dalam beberapa jenis transaksi dalam kehidupan sehari-hari. Contoh kongkrit diberikan untuk memperjelas pengertiannya.
Transaksi utang-piutang mengandung penundaan (selisih) waktu, tapi tidak ada unsur penambahan. Seseorang meminjamkan uang Rp 1 juta rupiah, dan peminjam melunasinya, setelah tertunda beberapa waktu lamanya, dalam jumlah yang sama, Rp 1 juta. Penundaan waktu dalam utang-piutang ini dibenarkan dan hukumnya halal, tetapi penambahan atasnya tidak dibenarkan dan hukumnya haram. Penambahan dalam utang-piutang adalah riba al-fadl.
Transaksi pertukaran tidak melibatkan baik penundaan (selisih) waktu maupun penambahan nilai. Seseorang memberikan sejumlah uang, Rp 1 juta, kepada seseorang yang lain. Tanpa ada selisih waktu, artinya pada saat uang diserahkan, dan tanpa perbedaan nilai, tetap Rp 1 juta, seseorang lain menerimanya, sambil menyerahkan uang yang sama Rp 1 juta. Selisih waktu dalam pertukaran dilarang dan hukumnya haram; demikian juga penambahan di dalam pertukaran dilarang dan hukumnya haram. Kalau penyerahannya (dari salah satu atau kedua belah pihak) ditunda maka yang harus dilakukan adalah menjadikan transaksi tersebut secara jelas sebagai utang-piutang. Utang-piutang tidak boleh disembunyikan sebagai pertukaran. Kalau hal ini terjadi maka timbul riba, dalam hal ini riba al-nasi’ah.
Konsep Riba dalam Perspektif Nonmuslim
Riba bukan hanya persoalan dalam masyarakat islam, tetapi berbagai kalangan diluar islam pun memandang serius persoalan ini. Masalah riba telah menjadi bahan bahasan kalangan Yahudi, Yunani demikian juga Romawi. Ada beberapa alasanmengapa pandangan dari kalangan nonmuslim tersebut dikaji, alasan tersebut antara lain:
- Agama islam mengimani dan menghormati Nabi Ibrahim, Ishak, Musa dan Isa. Nabi-nabi tersebut juga diimani oleh Yahudi dan Nasrani. Islam juga mengakui kedua kau ini sebagai Ahli Kitab, karena kaum Yahudi dikaruniai oleh Allah SWT kitab Taurat, sedangkan kaum Kristiani dikaruniai kitab Injil.
- Pemikiran kaum Yahudi dan Kristiani perlu dikaji karena sangat banyak tulisan mengenai bunga yang dibuat para pemuka agama tersebut.
- Pendapat orang-orang Yahudi dan Romawi juga perlu diperhatikan karena mereka memberikan kontribusi yang besar bagi peradaban umat manusia. Pendapat mereka juga banyak mempengaruhi orang-orang Yahudi dan Kristen serta islam dalam memberikan argumentasi sehubungan dengan riba.
Dampak Riba
Adapun dampak dari praktek riba antara lain :
- Menyebabkan eksploitasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin.
- Modal besar yang dikuasai pemilik modal tidak disalurkan kepada usaha-usaha yang produktif, tetapi justru disalirkan dalam perkreditan berbunga yang belum produktif.
- Dapat menyebankan kebangkrutan usaha.
Jenis-Jenis Riba
Riba Fudul
Ø Penukaran dua barang sejenis dalam jumlah yang tidak sama. Contoh : menukar 2 gram emas dengan 2,5 gram emas yang sama.
Riba Qardi
Ø Riba dalam bentuk hutang piutang atau pinjaman dengan syarat ada tambahan atau keuntungan bagi yang memberi pinjaman. Contoh : si A memberikan pinjaman uang Rp 10.000 kepada si B dengan syarat si B harus mengembalikan sebesar Rp 11.000.
Riba Yad
Ø Riba yang dilakukan dalam transaksi jual beli yang belum diserah terimakan namun oleh si pembeli sudah dijual lagi kepada orang lain. Contoh : si A menjual motor kepada si B tetapi si B belum menerima motor tersebut, tetapi si B sudah menjual motor tersebut kepada si C
Riba Nasa (Nasiah)
Ø Riba dengan cara melipat gandakan tambahan karena penundaan waktu pembayaran. Contoh : si A memberikan pinjaman kepada si B sebesar Rp 100.000 dan harus dikembalikan minggu depan, dan ketika sudah jatuh tempo si B tidak bisa mengembalikannya maka si A memperpanjang waktu pembayarannya menjadi satu minggu lagi dengan syarat si B harus mengembalikan sebesar Rp 110.000.
Dalil yang Melarang Riba
QS Al Baqarah ayat 275
Artinya : Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
QS Al Baqarah ayat 276
Artinya : Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (Qs Al Baqarah : 276)
QS Al Baqarah ayat 278
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (Qs Al Baqarah : 278)
Sabda Rasulallah SAW
عن جابر قال لعن رسولالله صلى الله عليه وسلم اكل الربا ومؤكله وكاتبه وشاهديه وقال هم سواء ﴿رواه المسلم﴾
Artinya : Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat pemakan riba, yang mewakilinya, penulisnya, dan dua orang saksinya. Beliau bersabda: "Mereka itu sama." (HR Muslim).
لعن الله اكل الربا ومؤكله وكاتبه وشاهده وهم يعلمون والواصلة والمستوصلة والواشمة والمستوشمة والنامصة والمتنمصة ﴿رواه الطبرانى﴾
Artinya : Allah mengutuk riba, orang yang memakannya, yang memberikan makanan, penulisnya, yang menyaksikannya, mereka yang mengetahui, orang yang memfasilitasi, orang yang menusuk tubuhnya dengan jarum sehingga hitam bekasnya, yang meminta tusuk dengan jarum (tato), yang mencabut rambut dan meminta dicabutkan rambutnya (HR. Tabrani)
Persoalan Bunga Bank
Bunga bank yang diterapkan oleh bank-bank konvensional pada dasarnya merupakan tambahan yang diambil dari prosentase dana yang disalurkan kepada kreditor melalui produk-produk penyaluran dana yang disediakan atau dana yang ditanam (saving). Sistem bunga ini digunakan, baik untuk biaya opersional bank maupun untuk kompensasi nasabah penanam modal. Dengan demikian para nasabah, baik yang menabung, deposito, giro ataupun pemakai produk bank lainnya, juga mendapatkan kompensasi bunga berupa tambahan prosentase dari dana yang ditanam (saving).
Dewasa ini juga terdapat bank yang dalam opersionalnya tidak memakai system bunga, namun memakai prinsip-prinsip syariah sehingga dapat terbebas dari bunga. Inilah yang dikenal dengan Bank Syariah. Beberapa perbedaan antara sistem bunga dengan prinsip syariah yang diterapkan oleh bank konvensional dan bank syariah dalam memberikan pendanaan kepada nasabah antara lain sebagai berikut :
No
|
Pokok-pokok Perbedaan
|
Sistem Bunga
|
Prinsip Syariah
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
|
Dasar perjanjian penentuan bunga / imbalan
Dasar perhitungan bunga / imbalan
Kewajiban pembayaran bunga / imbalan
Persyaratan jaminan pembiayaan
Obyek pembiayaan
Pandangan prinsip syariah terhadap sistem bunga
|
Perjanjian pengenaan bunga tidak berdasadkan keuntungan / kerugian.
Persentase tertentu dari total danayang dipinjamkan kepada nasabah
a. Pembayaran bunga tetap harus dibayar
b. Besarnya pembayaran bunga oleh nasabah jumlahnya tetap meskipun keuntungan nasabah lebih besar dari jumlah keuntungan yang diperkirakan
Pembiayaan umumnya memerlukan penyerahan jaminan berupa barang / harta nasabah
Jenis usaha yang dibiayai tidak dibedakan, sepanjang memenuhi persyaratan (bankable)
Pembayaran / pengenaan bunga oleh kreditur kepada nasabah dianggap haram
|
Perjanjian imbalan berdasarkan pada keuntungan / kerugian.
Besarnya nisbah bagi hasil didasarkan atas jumlah keuntungan yang diperoleh nasabah.
a. Pembayaran imbalan dilakukan apabila nasabah memeperoleh keuntungan. Sebaliknya bila rugi, jumlah kerugian / resiko ditanggung kedua belah pihak.
b. Besarnya imbalan berubah sesuai dengan besar-kecilnya keuntungan yang didapat nasabah
Persyaratan jaminan tidak mutlak diperlukan.
Jenis usaha yang dibiayai harus dengan ketentuan syariah.
Pembayaran imbalan berdasarkan bagi hasil sifatnya halal
|
Pendapat Ulama Tentang Bunga Bank
1. PP Muhammadiyah
PP Muhammadiyah melaui Majlis Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 sudah membuat keputusan mengenai keharaman riba dan mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah untuk menusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah isalam.
2. PB NU
PB NU melalui Lajnah Bahsul Masa’il NU yang bersidang di Bandar Lampung pada tahun 1982 memutuskan bahwa bunga bank haram dan merekomendasikan berdirinya bank syariah dengan sistem tanpa bunga.
3. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
MUI melalui Dewan Syariah Nasional (DSN) pada tahun 2000 mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank tidak sesuai dengan syariah. Selanjutnya pada tanggal 16 Desember 2003 kembali MUI mengeluarkan fatwa, kali ini lebih tegas dengan menyatakan bahwa bunga bank adalah haram.
4. Pendapat Abu Zahra, Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Cairo, Abul A’la Al Maududi (Pakistan), Muhammad Abdullah Al A’rabi, Penasihat Hukum pada Islamic Congress Cairo dan lain-lain yang menyatakan bahwa bunga bank itu ruba nasiah, yang dilarang oleh islam.
5. Pendapat A. Hasan, pendiri dan pemimpin pesantren Bangil (Persis) yang menerangkan bahwa bunga bank yang seperti di Negara kita kita ini bukan riba yang diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana seperti yang dinyatakan dalam surat Ali Imran ayat 130 :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Cara Memberantas Riba
Riba merupakan salah satu yang harus diperangi oleh masyarakat muslim, karena itu seluruh umat muslim harus berusaha untuk mengurangi bahkan memberantas segala bentuk-bentuk dari praktek riba dalam segala bidang. Adapun cara yang dapat dilakukan untuk memerangi dari praktek riba itu di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Menyuburkan dan memakmurkan sedekah, karena memang sedekah sangat dianjurkan sekali dalam agama islam (QS. Al Baqarah : 276)
2. Dana dari sedekah tadi digunakan untuk memfasilitasi segala bidang-bidang yang telah terkena paraktik riba, sehingga dengan bantuan dari dana sedekah tersebut masyarakat dituntut untuk menggunakan uangnya untuk keperluan-keperluan yang produktif saja dan bukan digunakan untuk keperluan yang bersifat konsumtif.
3. Mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai penggunaan dana syariah yang dapat digunakan untuk mendanai proyek dan kegiatan yang bisa didanai secara syariah, misalnya mengenai asuransi syariah dan perkreditan syariah
4. Memanfaatkan bunga dari bank untuk kepentingan masyarakat umum, karena jika bunga bank yang haram itu tidak diambil maka bunga tersebut akan digunakan lagi oleh bank untuk mendanai proyek-proyek yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Karena hakikatnya bunga bank itu berasal dari masyarakat umum, sehingga pemenfaatanya juga harus diberikan untuk memfasilitasi masyarakat umum dan bukan untuk digunakan secara pribadi.
Sebagaiman yang tercantum dalam
1. Menyadarkan masyarakat akan bahaya riba bagi masyarakat lainnya, sehingga mengajak masyarakat untuk melaksanakan perintah Allah SWT tadi menjadi prioritas yang diutamakan
2. Membangun warung, toko atau pasar-pasar yang dekat dari lingkungan masyarakat sehingga mudah dijangkau.
3. memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai jual-beli yang sesuai dengan ajaran agama.
4. Memberikan bantuan kepada masyarakat yang ingin mendirikan toko dengan sisitem yang sesuai dengan syariah
Daftar Pustaka
Antonio, Muhammad syafi’i. 2001. Bank syariah dari teori ke praktik. Jakarta : Gema Insani Press
Muslih, Mohammad dan Drs. Nur Hadi Ikhsan. 2007. Fiqih untuk Kelas IX Madrasah Tsanawiyah. Jakarta : Yudhistira
Siamat, Dahlan. 2001. Managemen Lembaga Keuangan (Edisi Ketiga). Jakarta : FEUI
Zuhdi, Masyfuk. 1994. Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam. Jakarta : Haji Masagung.
Artikel Terkait
No comments:
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Post a Comment
Silahkan ketikkan komentar anda disini